Sabtu, 12 Januari 2013

FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME


      PROGRESIVISME
  1. Latar Belakang
Pihak tertentu memandang Progresivisme sebagai suatu aliran filsafat pendidikan, tetapi ada pula yang memandangnya sebagai suatu gerakan pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi konsep-konsep filsafat tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa Amerika pada permulaan abad kedua puluh. Perkumpulan Pendidikan Progresivisme (The Progressive Education Association) didirikan pada tahun 1918, selama dua puluh tahun atau lebih Progresivisme merupakan “jiwa” yang merasuki pendidikan bangsa Amerika.
Progresivisme memberikan perlawanan terhadap formalisme yang berlebihan dan membosankan dari sekolah atau pendidikan yang tradisional. Contohnya, Progresivisme menolak pendidikan yang bersifat otoriter, menolak penekanan atas disiplin yang keras, menolak cara-cara belajar yang bersifat pasif, menolak konsep dan cara-cara pendidikan yang hanya berperan untuk mentransfer kebudayaan masyarakat kepada generasi muda, dan berbagai hal lainnya yang dipandang tidak berarti. Progresivisme anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Karena itu, Progresivisme menyampaikan seruan kepada para guru “We all desire progress, and hope for progress can high immediately after the first World War”. Kita semua membutuhkan kemajuan, dan berharap untuk maju secara cepat setelah perang dunia pertama (Henderson, 1959), Progresivisme melancarkan suatu gerakan untuk  perubahan sosial dan budaya dengan penekanan pada perkembangan individual dan mencakup cita-cita, seperti cooperation, yaitu kerja sama berbagai aspek kehidupan, sharing, yaitu berbagi peran dan turut ambil bagian dalam berbagai kegiatan, dan adjustment, yaitu fleksibel untuk dapat menyeusikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi. Sebab itulah Progresivisme menjadi populer, banyak para guru di Amerika pada saat itu menjadi pendukungnya.
Pada awal tahun 1944 The Progressive Education Association untuk berubah nama menjadi The American Education Fellowship Progresivisme mengalami kemunduran setelah Uni Soviet meluncurkan  Sputnik. Namun demikian, gerakan mi tidaklab mati, sebab masih terus dilanjutkan melalui kerja individual oleh para pendukungnya seperti dilakukan oleh George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayles Lawrence G. Thomas, dan Frederich C. Neff.

  1. Filsafat Pendukung yang Melandasi
Progresivisme didukung atati dilandasi oleh filsafat Pragmatisme dari John Dewey (1859-1952). Dewey memang merupakan orang yang paling dikenal mempengaruhi dan berperan dalam rangka pendirian serta perkembangan Progresivisme. Apabila ditelusuri, konsep-konsep filsafat yang melandasi Progresivisme bahkan berasal dari para filsuf yang hidup pada zaman Yunani Kuno dan para filsuf lainnya yang hidup kemudian, seperti Heraklitos (536-470 SM), Socrates (470-399 SM), Phitagora (480-410 SM), W. James (1842-1910), Francis Bacon (1561-1626), Jean Jacques Rousseau (1712-I 778), immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770- 1831). Setain itu tokoh-tokoh pelopor bangsa Amerika, seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, dan Thomas Jefferson pun telah mempengaruhi perkembangan Progresivisme.

  1. Pandangan Ontolog
a.      Evolusionistis dan Pluralistis
Progresivisme bersifat anti metafisika. Alam semesta yang disebut dunia memang diakui adanya sebagai suatu realita, tetapi hal ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang bersifat substansial. Realitas tidak ditafsirkan sebagai spirit, atau ide, atau atom, atau tanah yang tergolong ke dalam doktrin metafisika, melainkan ditafsirkan sebagai suatu kenyataan di mana manusia berada, hidup, dan proses kehidupan terus berlangsung. Progresivisme memandang eksistensi alam atau dunia dari sudut prosesnya. John Dewey dalam bukunya “Creative Intelligence” (1917) menyatakan bahwa : Sifat utama Pragmatisme mengenai realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum .... Teori demikian adalah tidak mungkin dan tidak perlu” (J. Donald Butler, 1968). Sejalan dengan itu menurut Progresivisme tidak ada realitas yang umum, yang ada hanyalah realitas khusus atau individual. Realitas tersebut diyakini tidak menetap alias selalu dalam proses perubahan. Implikasinya, realitas tidaklah kekal, tidak lengkap, dan tidak mempunyai kepastian. Realitas pada dasarnya pluralistis, dan karena terus berubah maka ia memiliki akhir dalam proses perubahannya sendini.

b.      Manusia
Progresivisme memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki potensi inteligensi (akal dan kecerdasan) sebagai instrumen untuk mampu menghadapi dan memecahkan berbagai masalah sehingga ia memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang multikompleks, berubah dan berkembang. Intelegensi adalah alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Manusia berinteraksi dengan lingkungannya (lingkungan fisik maupun sosial-budaya), keduanya saling mempengaruhi dalam proses perubahan, perkembangan. Dalam evolusinya manusia harus berjuang untuk tetap survive.

c.       Pengalaman sebagai realitas
Menurut Dewey, “pengalaman adalah key-concept, kunci pengertian manusia atas segala sesuatu Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi” (Mohammad Noor Syam, 1984). Pengalaman adalah ciri dinamika hidup, sedangkan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan, oleh sebab itu maka pengalaman adalah perjuangan pula. Oleh karena Realitas pada hakikatnya terus berubah, hidup itu pun selalu berubah. Dalam konteks ini bahwa kesempatan, sesuatu yang tidak terduga-duga, sesuatu yang baru, dan sesuatu yang tak teramalkan selalu ikut berperan dalam berbagai peristiwa kehidupan. Hidup penuh tantangan dan masalah yang harus diselesaikan. Manusia, sebagaimana juga makhluk-makhluk lain, akan tetap hidup dan berkembang jika ia mampu berjuang mengatasi tantangan dan masalah yang datang silih berganti dalam proses perubahan yang terus terjadi. Asas ontologi ini jelas didasarkan atas pengalaman karena itu jelas bersumber dari teori evolusi.
Pengalaman manusia mempunyai empat karakteristik, yaitu spatial, temporal, dinamis dan pluralistis (Mohammad Noor Syam, 1984).
1)      Pengalaman itu spatial: pengalaman selalu terjadi di suatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia.
2)      Pengalaman itu temporal: sebagaimana alam, kebudayaan, pengalaman pun selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu,
3)      Pengalaman itu dinamis: hidup selalu dinamis menuntut adaptasi dan readaptasi dalam semua variasi perubahan yang terjadi terus-menerus. Realita itu menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternatif-alternatif.
4)      Pengalaman itu pluralistis: pengalaman itu terjadi seluas adanya hubungan dan antaraksi dalam mana individu terlibat. Demikian pula subjek yang mengalami pengalaman itu, menangkapnya dengan seluruh kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan panca inderanya masing-masing sehingga pengalaman itu memang bersifat pluralistis.



d.      Pengalaman dan Pikiran
Manusia memiliki fungsi-fungsi jiwa yang dikenal sebagai pikiran (mind) sehingga ia mempunyai berbagai potensi intelegensi, seperti kecerdasan, kemampuan mengingat, imajinasi, membuat lambang atau simbol-simbol, menghubung-hubungkan, merumuskan, memecahkan masalah, membuat gambaran masa depan. Semua itu memberikan kemungkinan ia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain dan lingkungan lain yang lebih luas. Dalam kegiatan sehari-hari, pikiran memberikan isi dan kemungkinan untuk berbuat.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, pengalaman terjadi bila berlangsung interaksi antara individu dengan lingkungannya. Pengalaman merupakan bagian perjuangan untuk hidup karena itu pengalaman menjadi berarti bagi manusia apabila dapat memberikan sumbangan bagi perjuangan tersebut. Untuk itu pengalaman harus diolah oleh pikiran. Sebaliknya, pikiran bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan harus diuji dalam pengalaman.
Pikiran bukan suatu entity tersendiri, demikian pula pengalaman, melainkan terintegrasi dalam kepribadian. Terdapat kesatuan antara pikiran dengan pengalaman, adapun satunya pikiran dengan pengalaman adalah dalam perbuatan praktis. Sebab itu, dalam hal ini manusialah yang berbuat, yang bekerja, dan yang mengatasi masalah.

  1. Pandangan Epistemologi
a.      Sumber pengetahuan
Progresivisme mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman di mana manusia kontak langsung dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya atau juga melalui pengalaman secara tidak langsung, yaitu melalui catatan-catatan yang diwariskan seperti buku atau literatur lainnya.
Proses memperoleh “tahu” dalam pengalaman manusia dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu immediate-experience dan mediate-experience (M. Noor Syam, 1984). Proses memperoleh “tahu” melalui immediate-experience, yaitu ketika seseorang memperoleh “tahu” (misal membaca koran) dalam keadaan relaks, tenang, tanpa beban psiklogis, tanpa permasalahan atau berada dalam keseimbangan, sedangkan memperoleh “tahu” melalui mediate-experience yaitu ketika seseorang segera menjembatani antara keadaan kehilangan keseimbangan karena adanya masalah dengan adanya keseimbangan karena terpecahkannya masalah. Dalam konteks mediate-experience pemecahan masalah (berpikir) dilakukan secara deduktif-induktif dan implementasi. Pola berpikir ini dilakukan melalui lima tahap, yaitu (1) menyadari adanya masalah; (2) merumuskan jawaban sementara atau hipotesis; (3) mengumpulkan data/pengalarnan untuk menguji hipotesis; (4) melakukan generalisasi, menarik kesimpulan induktif dari pengalaman-pengalaman yang khusus; (5) menguji kesimpulan dan generalisasi dalam praktik yang nyata dalam masyarakat, implementasi (Madjid Noor, dkk, 1987).

b.      Kriteria “kebenaran
Suatu pengetahuan dikatakan benar apabila dapat diverifikasi dan diaplikasikan atau diimplementasikan dalam kehidupan, adapun kriteria kebenarannya adalah workability (dapat dipraktikkan), (memuaskan) dan result (memberikan hasil).

c.       Sifat Pengetahuan : Relatif dan berubah
Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman tentang fenomena karena fenomena realitas hakikatnya adalah berubah maka pengetahuan dan kebenaran pengetahuan pun akan berubah, dan ini berarti juga bersifat relatif. Bagaimanapun, pengetahuan dan kebenaran pengetahuan pada hal ini harus juga dipertimbangkan mungkin berubah esok hari.


  1. Pandangan Aksiologi
a.      Sumber Nilai : Kondidi Riil Manusia/Pengalaman
Progresivisme menafsirkan hakikat nilai (etika) secara empiris, yaitu berdasarkan pengalaman atau kondisi riil manusia. Nilai tidak diturunkan dari sesuatu yang bersifat nonempiris atau yang bersifat supernatural, seperti wuhyu Tuhan.

b.      Sifat nilai : berada dalam proses, relatf kondisional, memiliki kualitas sosial dan individual, serta dinamis
Nilai tidak bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri, melainkan ada dan tidak ada dalam proses, yaitu dalam perbuatan manusia. Oleh karena perbuatan manusia selalu diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya untuk survive maka Progresivisme tidak membedakan dan tidak memisahkan antara nilai intrinsik dengan nilai instrumental.
Seperti dikemukakan di atas, nilai ada dan selalu berada dalam perbuatan manusia, adapun situasi perbuatan manusia selalu bersifat partikular karena itu kriteria nilai hakikatnya bersifat relatif tergantung waktu dan kondisi yang ada, dan tiadalah nila-nilai universal.
Nilai memiliki kualitas sosial Pada dasarnya semua nilai merupakan produk dari kenyataan sosial. Contohnya, nilai kesehatan dipahami individu berkat antar hubungan dengan individu-individu lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena adanya keharusan berhubungan dengan orang lain itu maka nilai-nilai mempunyai kualitas sosial. Sebaliknya, setiap individu adalah bebas, memiliki potensi intelegensi, rasional, dan kritis maka individu-individu yang membangun masyarakat sesuai zamannya tidak mewarisi nilai dari generasi terdahulu. melainkan individu-individu itu bebas memilih satisfaction nilai yang sesuai dengan kondisinya. Dalam konteks inilah nilai-nilai memiliki kualitas individual, dan hal ini mengimplikasikan adanya sifat perubahan dan perkembangan nilai karena itu nilai bersifat dinamis.
c.       Kriteria nilai : berguna adalah baik
Sesuatu dikatakan baik apabila berguna dalam praktik hidup dan kehidupan, adapun sesuatu dikatakan berguna jika bermakna untuk kehidupan yang intelligent, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia. (Callahan and Clark, 1983).

d.      Demokrasi sebagai Nilai
Progresivisme memandang demokrasi sebagai nilai ideal yang wajib dilaksanakan dalam semua bidang kehidupan Secara axiologis, demokrasi terutama merupakan nilai instrumental dari nilai intrinsik. Dalam arti ideal, demokrasi adalah jalan menuju kebahagiaan. Demokrasi adalah nilai individual sekaligus nilai sosial. Dengan demokrasi tiap individu memiliki hak asasi, kemerdekaan dan kesempatan untuk mengembangkan kepribadian, self realization. Sekaligus dengan demokrasi tiap individu mengemban kewajiban untuk menghormati individu lain, untuk memikul tanggung jawab sosial Nilai pelaksanaan asas demikian akan dinikmati baik oleh individu maupun oleh masyarakat (negara, bangsa) bahkan oleh umat manusia (M. Noor Syam, 1984).

  1. Pandangan tentang Pendidikan
a.      Pendidikan
Menurut Progresivisme pendidikan selalu dalam proses perkembangan. Kualitas khusus pendidikan bukan ditentukan oleh aplikasi standar-standar yang menetap mengenai kebaikan, kebenaran dan keindahan, melainkan memandang pendidikan sebagai suatu rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Progresivisme menekankan enam prinsip mengenai pendidikan dan atau belajar, yaitu bahwa (1) pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk kehidupan; (2) belajar harus langsung berhubungan dengan minat anak; (3) belajar melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian bahan pelajaran; (4) guru berperan sebagai pemberi nasihat, bukan untuk mengarahkan; (5) sekolah harus menggerakkan kerja sama daripada kompetisi; dan (6) demokrasilah satu-satunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi saling tukar menukar ide bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya (G. F. Kneller, 1971).
Progresivist memandang education as cultural transition. Pendidikan dianggap mampu mengubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat  menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang. Pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan peruhahan-perubahan kultural dan tantangan-tantangan zaman demi survive-nya manusia (M. Noor Syam)

b.      Tujuan Pendidikan
Bagi penganut Progresivisme pendidikan bertujuan agar peserta didik individu memiliki kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada dalam proses perubahan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang demokratis. Sejalan dengan itu Imam Barnadib (1984) menyatakan bahwa tugas utama dalam lapangan pendidikan adalah meningkatkan kecerdasan agar peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah.

c.       Sekolah
Pendidikan adalah hidup itu sendiri, kehidupan yang riil adalah proses belajar, manusia (peserta didik) bebas dan aktif dalam berinteraksi, mengambil bagian, serta memanfaatkan lingkungan alam dan lingkungan sosial-budayanya, dan bahwa pengalaman hidup manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya merupakan realita yang meresap membina pribadi. Munusia dan lingkungannya saling berpengaruh satu sama lainnya dalam proses perubahan dan perkembangan. Karena itu, gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat tentang oleh Progresivisme. Bagi penganut Progresivisme “sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil. Sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat perlu dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah (Imam Barnadib, 1984). Sekolah hendaknya merupakan suatu mikrokosmos dan masyarakat yang lebih luas. Di sini para pelajar dapat mengkaji masalah-masalah dan pandangan-pandangan yang dihadapi masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Sekolah menjadi laboratorium belajar hidup, suatu model kerja demokrasi. Dewey sebagai seorang Progresivist memandang “sekolah sebagai suatu masyarakat demokratis dalam ukuran kecil yang murid-muridnya dapat belajar dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dalam suasana demokrasi” (Madjid Noor, dkk, 1987).

d.      Kurikulum: Child centered, community centered, experience centered, flexible, interdisipliner
Sebagaimana pengalaman yang bersifat partikular bahwa kebutuhan kebutuhan, minat-minat individu dan masyarakat berbeda-beda menurut tempat dan zamannya. Sebab itu kurikulum tidak ada yang universal, melainkan berbeda-beda sesuai kondisi yang ada; kurikulum hendaknya disesuaikan dengan sifat-sifat peserta didik (minat, bakat, dan kebutuhaii setiap peserta didik) atau child centered. Namun demikian, belajar berlangsung dalam kehidupan manusia yang riil dan wajar maka kurikulum sekolah hendaknya bersumber dari kehidupan yang riil dan wajar pula, yaitu berasal dari lingkungan (alamiah maupun sosial-budaya). Kurikulum hendaknya berbasis pada masyarakat, tidak terpisah dan keadaan-keadaan masyarakat atau community centered. Oleh karena kurikulum harus berpusat pada peserta didik, tetapi juga kurikulum tidak boleh terpisah dari keadaan atau kondisi masyarakat pada tempat dan zamannya, berarti pula bahwa kurikulum itu bersifat fleksibel, tidak beku atau statis, melainkan mungkin berubah atau dapat direvisi.
Imam Barnadib (1984) menegaskan: “Oleh karena sifat kurikulum yang. tidak beku dan dapat direvisi ini maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman“. Jenis kurikulum ini dilukiskan Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit, ini berarti bahwa kurikulum yang, ideal hendaknya interdisipliner. Selain itu. dijelaskan pula bahwa kurikulum itu hendaknya yang dihasilkan dan dibentuk dari pertanyaan-pertanyaan dan pengalaman-pengalaman anak didik sendiri dan diarahkan kepada perkembangan kepribadian yang penuh dengan jalan untuk memberikan penghayatan-penghayatan emosional, motonik, intelektual, dan sosial yang seluas dan sekaya mungkin. Dengan demikian, berbagai mata pelajaran bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk memecahkan berbagai masalah, dan buku-buku dipandang sebagai alat dalam rangka proses belajar, sebagai sumber pengetahuan yang abadi.

e.       Metode
Metode pendidikan yang diutamakan Progresivisme adalah metode pemecahan masalah problem solving method serta metode penyelidikan penemuan (inquiry and discovery method). Sehubungan dengan metode ini, dalam pelaksanaannya dihutuhkan guru yang memiliki karakteristik sebagai berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendy (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), creative (kreatif) social a ware (sadar bermasyarakat), enthusiastic (antusias), cooperative and sincere (bekerja sama dan sungguh-sungguh) (Callahan and Clark, 1983)



f.       Peranan guru dan peserta didik
Oleh karena peserta didik dipandang sebagai organisme (subjek) yang kemampuan untuk berpikir, mampu menjelajahi kebutuhan, dan minatnya sendiri maka guru seharusnya berperanan sebagai: penyedia berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi belajar; (a guide) bagi munid-murid dalam merumuskan masalah, kegiatan penyelesaian masalah dan proyek-proyek mereka; merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memcahkan masalah; membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah; dan bersama-sama anggota kelas mengevaluasi mengenai apa yang telah dipelajari; bagaimana mempelajarinya; informasi baru apa yang setiap siswa peroleh; apa yang siswa temukan oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983). Edward J. (1982) menyimpulkan bahwa guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat kebutuhan peserta didik. Sedangkan peserta didik berperanan sebagai organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh


 KESIMPULAN

Pihak tertentu memandang Progresivisme sebagai suatu aliran filsafat pendidikan, tetapi ada pula yang memandangnya sebagai suatu gerakan pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi konsep-konsep filsafat tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa Amerika pada permulaan abad kedua puluh. Perkumpulan Pendidikan Progresivisme (The Progressive Education Association) didirikan pada tahun 1918, selama dua puluh tahun atau lebih Progresivisme merupakan “jiwa” yang merasuki pendidikan bangsa Amerika.
Aliran filsafat progresivisme ide-idenya ialah berpangkal pada perubahan social. Dan perubahan          yang lebih di utamakan ialah perkembangan individual yang mencakup berupa cita-cita, seperti cooperation, sharing, dan adjustment, yaitu kerja sama dalam semua aspek kehidupan, turut ambil bagian (memberikan andil)  dalam semua kegiatan, dan memiliki  daya fleksibelitas untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Menurut Progresivisme pendidikan selalu dalam proses perkembangan. Kualitas khusus pendidikan bukan ditentukan oleh aplikasi standar-standar yang menetap mengenai kebaikan, kebenaran dan keindahan, melainkan memandang pendidikan sebagai suatu rekonstruksi pengalaman yang terus menerus.




1 komentar: