Judul Buku
|
:
|
Sang Pemimpi
|
Penulis
|
:
|
Andrea Hirata
|
Penyunting
|
:
|
Imam Risdiyanto
|
Penerbit
|
:
|
Bentang Pustaka
|
Cetakan
|
:
|
I, Juli 2006
|
Tebal
|
:
|
x + 295 hlm
|
Jauh
di pedalaman pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi
untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan
sampai ke Afrika.! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau
bagai punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja
untuk mewujudkan mimpi mereka, hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup,
kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah
pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan
mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.
Novel
kedua Andrea Hirata “Sang Pemimpi” ini bertutur bagaimana ketiga anak kampung
Melayu di kawasan PN Timah Belitong menjalani hari-hari mereka bersama
mimpi-mimpinya. Karena masih merupakan kelanjutan dari novel pertamanya Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi pun masih bertutur mengenai memoar kehidupan Ikal, dalam
menapaki kehidupannya. Jika dalam Laskar Pelangi tokoh Ikal yang ketika SD
hingga SMP ditemani oleh kesepuluh teman-temannya yang dinamai Laskar Pelangi,
kini Ikal yang telah bersekolah di SMA ditemani oleh dua orang temannya Arai
dan Jimbron.
Arai
sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Ikal, kedua orang tuanya
meninggal dunia ketika ia masih kecil. Arai tak memiliki saudara kandung
sehingga setelah kematian kedua orang tuanya Arai diasuh oleh kedua orang tua
Ikal di kampungnya sehingga bagi Ikal, Arai adalah saudara sekaligus sahabat
terbaik baginya, Arai memiliki pribadi yang terbuka dan cerdas. Sedangkan
Jimbron adalah sosok rapuh, ia tak secerdas Ikal dan Arai, ia gagap dalam berbicara
semenjak kematian ayahnya. Jimbron sangat terobsesi oleh kuda, padahal di
kampungnya tak ada seekorpun kuda bisa ditemui, nantinya kisah Jimbron dan
obsesinya ini menjadi bagian yang menarik dan lucu pada buku ini
Ikal,
Arai dan Jimbron memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, mereka bahu membahu
mewujudkan mimpi mereka, saat itu PN Timah Belitong sedang dalam keadaan
terancam kolaps, gelombang PHK besar-besaran membuat banyak anak-anak tidak
bisa meneruskan sekolah mereka karena orang tuanya tak sanggup membiayai.
Mereka yang masih ingin bersekolah harus bekerja. Demikian juga dengan ketiga
pemimpi, begitu tamat SMP mereka ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena
di kampung mereka tak ada SMA, mereka harus merantau ke Magai, 30 kilometer jaraknya
dari kampung mereka. Untuk itu mereka tinggal bersama-sama dalam sebuah los
kontrakan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mereka
bekerja mulai dari penyelam di padang golf, office boy di sebuah kantor
pemerintah hingga akhirnya bekerja sebagai kuli ngambat, yang bertugas menunggu
perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan.
Menurut hirarki pekerjaan di Magai, kuli tambat adalah pekerjaan yang paling
kasar yang hanya akan digeluti oleh mereka yang tekad ingin sekolahnya sekeras
tembaga atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan
lain. Hal ini membuktikan bahwa ketiga pemimpi ini memiliki hati yang sekeras
tembaga untuk bisa bersekolah untuk mewujudkan mimpi mereka.
Kisah
memoar kehidupan Ikal dan kedua sahabatnya dalam mewujudkan impian inilah yang
tersaji dalam novel ini. Semua kisahnya tersaji dalam 18 bab yang tidak terlalu
panjang, masing-masing memiliki kisahnya sendiri, namun ada juga beberapa bab
yang sambung menyambung. Beberapa bab menyuguhkan cerita-cerita yang bersahaja
seperti pada bab Baju Safari Ayahku yang mengisahkan bagaimana ayah Ikal yang
tak banyak bicara namun begitu mencintai dirinya, hal ini terbukti ketika
ayahnya harus mengayuh sepeda sejauh 30 km untuk mengambil rapor ikal dan Arai.
Ketika hari yang ditentukan tiba ayah Ikal bahkan harus bangun pagi-pagi sekali
untuk mempersiapkan dirinya, dikenakannya satu-satunya pakaian Safari empat
saku kesayangannya yang telah disetrika dengan rapih, baginya hari itu adalah
hari yang terpenting bagi hidupnya. Kesungguhan hati sang ayah dalam mengambil
rapor Ikal dan Arai tak berbuah sia-sia karena mereka masing-masing menduduki
rangking ketiga dan kelima. Kisah yang tersaji dalam bab ini sangatlah indah,
secara piawai Andrea meramu kalimat-kalimatnya dengan indah sehingga pembaca
akan merasakan bagaimana bangganya Ikal memiliki ayah yang begitu mencintainya.
Masih
ada beberapa kisah lagi yang menggugah, namun ada juga beberapa kisah lucu yang
membuat pembacanya tersenyum dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca
pengalaman-pengalaman lucu mereka, misalnya pada Bab Bioskop yang menceritakan
kisah kenakalan Ikal dan kawan-kawannya ketika secara sembunyi-sembunyi masuk
kedalaam gedung bioskop untuk menonton film-film murahan yang mengumbah
syahwat. Tentu saja ini petualangan yang berbahaya karena menonton bioskop
merupakan salah satu larangan paling keras dari Pak Mustar, guru mereka. Kisah
yang lucu dan seru ini bersambung ke 2 bab berikutnya yaitu Action dan
Spiderman. Khusus di Bab Spiderman pembaca akan dibuat tertawa karena obsesi
Jimbron terhadap kuda melahirkan sebuah kisah yang lucu dengan ending yang
membuat pembaca tertawa terbahak-bahak.
Selain
itu, disela-sela kisah-kisah ketiga pemimpi yang terdapat dalam buku ini,
pembaca juga akan disuguhi potret landskap pulau Belitong lengkap dengan
kondisi sosialnya, salah satunya yaitu dengan mengungkap anak-anak melayu yang
harus bekerja mendulang tembaga, mencari bongkah kaursa, topas dan gelena yang
sesungguhnya adalah milik penduduk kampung Melayu namun semuanya itu harus
mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di
Jakarta. Selain itu Andrea pun dengan jiwa yang besar melakukan otokritik
terhadap kaumnya, suku Melayu. Diwakili oleh tokoh pengusaha kaya di kampungnya
Capo Lam Pet Nyo, Andrea mengkritik habis perilaku suku melayu yang ditulisnya
sebagai orang yang manja karena bergantung pada keberadaan PN Timah, banyak
teori, sok pintar walau baru sedikit ilmunya, sombong walau hanya memiliki
sedikit harta, dll. Otokritiknya ini ditutup dengan kalimat lugas yang keluar
dari mulut Capo Lam Pet Nyo “Kalau timah tak laku, kalian orang Melayu mati…”
(hlm164).
Masih
banyak peristiwa-peristiwa yang menarik yang dialami oleh Ikal dan kedua kawannya.
Kesemua peristiwa yang mereka alami tak ubahnya seperti potongan-potongan
mozaik, walau awalnya seperti terserak seakan berdiri sendiri, namun jika
disatukan akan akan membentuk sebuah pemandangan yang indah yang dalam konteks
buku ini akan menuju suatu bentuk wujud dari impian besar mereka. Sayang,
ketika potongan mozaik yang menceritakan ketika Ikal telah memasuki bangku
kuliah tidak tereskplorasi dengan baik., kalimat “Tak terasa aku telah
menyelesaikan kuliahku” (hlm 250) seolah memberi alasan bagi Andrea untuk
beralih ke kisah selanjutnya, atau mungkin mozaik ini akan muncul di buku
berikutnya ? Semoga saja demikian. Buku ini diakhiri dengan kisah Ikal dan Arai
kembali ke kampungnya sambil menanti keputusan dari kampus mereka apakah mereka
diijinkan untuk melanjutkan riset ke luar negeri atau tidak. Berhasilkah Ikal,
Arai dan Jimbron mewujudkan mimpi mereka untuk menjejakkan kaki mereka hingga
ke Sorbrone – Perancis ? Jawabannya akan pembaca temui dalam bab-bab terakhir
di buku ini.
Walau
memiliki banyak hal yang menarik dalam buku ini, ada sedikit kejanggalan yang
mungkin akan dirasakan oleh pembaca. Pada cover depan buku ini tertulis bahwa
Sang Pemimpi adalah “Buku Kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi” bukan tak
mungkin pembaca Laskar Pelangi akan menyangka bahwa buku kedua Andrea ini masih
menceritakan kehidupan tokoh Ikal bersama pasukan Laskar Pelanginya, sayangnya
anggota Laskar Pelangi yang begitu kompak dan menemani masa-masa indah ikal
sewaktu SD hingga SMP tak terceritakan lagi dalam Sang Pemimpi, dari 18 bab,
hanya sekali Laskar Pelangi disinggung, itupun hanya sekilas saja, apakah
memang dari kesepuluh anggota laskar pelangi tak ada satupun yang melanjutkan
ke SMA Bukan Main di Magai ? Selain itu tokoh Arai yang dalam Sang Pemimpi
diceritakan telah tinggal bersama Ikal sama sekali tak dimunculkan dalam Laskar
Pelangi, padahal dalam novel ini dikisahkan bahwa Ikal dan Arai telah tinggal
serumah layaknya kakak dan adik semenjak mereka kelas tiga SD.
Secara
keseluruhan buku ini tak kalah menarik dengan Laskar Pelangi, Andrea nampaknya
masih `bermain` dalam pola yang sama dengan buku pertamanya, beragam kisah yang
pernah dialaminya ditulis dalam masin-masing bab dan dikumpulkan menjadi satu
buku, mirip kumpulan cerpen namun memiliki benang merah yang kuat. Sang Pemimpi
adalah sekuel dari Laskar Pelangi dan merupakan buku kedua dari apa yang
disebutnya sebagai Tetralogi Laskar Pelangi. Seperti diungkap oleh penulisnya
dalam lembar ucapan terimakasihnya, kini buku ketiga dan keempat sedang
ditulisnya, dan Budaya orang Melayu dan Tionghoa pedalaman di Belitong lah yang
akan menjadi platform untuk mendefiniskan tetralogi Laskar Pelangi.
Dari
segi penuturan, antara buku pertama dan kedua tak terlihat berbeda, Andrea
tampaknya masih konsisten menyuguhkan kisah-kisah kehidupan yang memesona yang
dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyihir pembacanya sehingga pembaca
dibawa berkelana menerobos sudut-sudut kehidupan anak-anak kampung Melayu yang
polos, sederhana namun memiliki kekuatan terhadap cinta, persahabatan,
pengorbanan, dan tekad yang keras untuk mewujudkan mimpi mereka. Tiap-tiap
kisah yang dituturkan baik yang penuh dengan kelucuan, keharuan, tragedi dll
diungkap dengan teknik bercerita yang memukau, tak heran jika Nicole Horner
dalam endorsmentnya mengatakan bahwa Andrea adalah seorang seniman kata-kata.
Kehadiran
Sang Pemimpi dalam ranah perbukuan tanah air masih dalam situasi yang sama
ketika Laskar Pelangi diterbitkan, buku-buku fiksi yang beredar masih banyak
yang bertutur mengenai kehidupan kaum urban dengan segala permasalahannya atau
cerita-cerita remaja metropolitan yang tak lepas dari problem cintanya. Belum
lagi kini pasar buku diramaikan dengan hadirnya karya-karya terjemahan yang
menggugat dasar-dasar keyakinan umat tertentu.
Ditengah-tengah
kondisi ini kembali Andrea menyuguhkan sebuah kisah yang lain. Sang Pemimpi
hadir dengan kisah-kisah sederhana. Namun dari kesederhanaan inilah pembaca
akan disadarkan bahwa kemiskinan dan berbagai hambatan yang membelit cita-cita
seseorang bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi. Selain itu Melalui rangkaian
kisah-kisah dalam buku ini baik yang filosofis, menyentuh bahkan menggelikan
akan terlihat secara jelas betapa dashyatnya tenaga mimpi dari tokoh-tokohnya
sehingga membawa mereka untuk terus berjuang menaklukkan berbagai rintangan-
yang mereka hadapi untuk mewujudkan mimpi mereka.
“Kita
akan sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apapun yang
terjadi!”
Sumber
: bukuygkubaca.blogspot.com
Great shot
BalasHapusBest regards,
Info Finansial