PROGRESIVISME
- Latar Belakang
Pihak tertentu memandang Progresivisme sebagai suatu
aliran filsafat pendidikan, tetapi ada pula yang memandangnya sebagai suatu
gerakan pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa Progresivisme adalah
gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi
konsep-konsep filsafat tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa
Amerika pada permulaan abad kedua puluh. Perkumpulan Pendidikan Progresivisme (The
Progressive Education Association) didirikan pada tahun 1918, selama dua
puluh tahun atau lebih Progresivisme merupakan “jiwa” yang merasuki pendidikan
bangsa Amerika.
Progresivisme memberikan perlawanan terhadap
formalisme yang berlebihan dan membosankan dari sekolah atau pendidikan yang
tradisional. Contohnya, Progresivisme menolak pendidikan yang bersifat
otoriter, menolak penekanan atas disiplin yang keras, menolak cara-cara belajar
yang bersifat pasif, menolak konsep dan cara-cara pendidikan yang hanya
berperan untuk mentransfer kebudayaan masyarakat kepada generasi muda, dan
berbagai hal lainnya yang dipandang tidak berarti. Progresivisme anti terhadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam
bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Karena
itu, Progresivisme menyampaikan seruan kepada para guru “We all desire
progress, and hope for progress can high immediately after the first World War”.
Kita semua membutuhkan kemajuan, dan berharap untuk maju secara cepat setelah
perang dunia pertama (Henderson, 1959), Progresivisme melancarkan suatu gerakan
untuk perubahan sosial dan budaya dengan
penekanan pada perkembangan individual dan mencakup cita-cita, seperti cooperation,
yaitu kerja sama berbagai aspek kehidupan, sharing, yaitu berbagi peran dan
turut ambil bagian dalam berbagai kegiatan, dan adjustment, yaitu
fleksibel untuk dapat menyeusikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Sebab itulah Progresivisme menjadi populer, banyak para guru di Amerika pada saat
itu menjadi pendukungnya.
Pada awal tahun 1944 The Progressive Education
Association untuk berubah nama menjadi The American Education Fellowship
Progresivisme mengalami kemunduran setelah Uni Soviet meluncurkan Sputnik. Namun demikian, gerakan mi tidaklab
mati, sebab masih terus dilanjutkan melalui kerja individual oleh para
pendukungnya seperti dilakukan oleh George Axtelle, William O. Stanley, Ernest
Bayles Lawrence G. Thomas, dan Frederich C. Neff.
- Filsafat Pendukung yang Melandasi
Progresivisme didukung atati dilandasi oleh filsafat
Pragmatisme dari John Dewey (1859-1952). Dewey memang merupakan orang yang
paling dikenal mempengaruhi dan berperan dalam rangka pendirian serta
perkembangan Progresivisme. Apabila ditelusuri, konsep-konsep filsafat yang
melandasi Progresivisme bahkan berasal dari para filsuf yang hidup pada zaman
Yunani Kuno dan para filsuf lainnya yang hidup kemudian, seperti Heraklitos
(536-470 SM), Socrates (470-399 SM), Phitagora (480-410 SM), W. James
(1842-1910), Francis Bacon (1561-1626), Jean Jacques Rousseau (1712-I 778),
immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770- 1831). Setain itu tokoh-tokoh pelopor
bangsa Amerika, seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, dan Thomas Jefferson
pun telah mempengaruhi perkembangan Progresivisme.
- Pandangan Ontolog
a.
Evolusionistis dan Pluralistis
Progresivisme bersifat anti metafisika. Alam semesta
yang disebut dunia memang diakui adanya sebagai suatu realita, tetapi hal ini
tidak dipandang sebagai sesuatu yang bersifat substansial. Realitas tidak
ditafsirkan sebagai spirit, atau ide, atau atom, atau tanah yang tergolong ke
dalam doktrin metafisika, melainkan ditafsirkan sebagai suatu kenyataan di mana
manusia berada, hidup, dan proses kehidupan terus berlangsung. Progresivisme
memandang eksistensi alam atau dunia dari sudut prosesnya. John Dewey dalam
bukunya “Creative Intelligence” (1917) menyatakan bahwa : Sifat utama
Pragmatisme mengenai realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa
tiada teori realita yang umum .... Teori demikian adalah tidak mungkin dan tidak
perlu” (J. Donald Butler, 1968). Sejalan dengan itu menurut Progresivisme tidak
ada realitas yang umum, yang ada hanyalah realitas khusus atau individual.
Realitas tersebut diyakini tidak menetap alias selalu dalam proses perubahan.
Implikasinya, realitas tidaklah kekal, tidak lengkap, dan tidak mempunyai
kepastian. Realitas pada dasarnya pluralistis, dan karena terus berubah maka ia
memiliki akhir dalam proses perubahannya sendini.
b.
Manusia
Progresivisme memandang manusia sebagai subjek yang bebas
dan memiliki potensi inteligensi (akal dan kecerdasan) sebagai instrumen untuk
mampu menghadapi dan memecahkan berbagai masalah sehingga ia memiliki kemampuan
untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang multikompleks, berubah dan
berkembang. Intelegensi adalah alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk
mengembangkan kepribadian manusia.
Manusia berinteraksi dengan lingkungannya (lingkungan
fisik maupun sosial-budaya), keduanya saling mempengaruhi dalam proses
perubahan, perkembangan. Dalam evolusinya manusia harus berjuang untuk tetap
survive.
c.
Pengalaman sebagai realitas
Menurut Dewey, “pengalaman adalah key-concept, kunci
pengertian manusia atas segala sesuatu Pengalaman ialah suatu realita yang
telah meresap dan membina pribadi” (Mohammad Noor Syam, 1984). Pengalaman
adalah ciri dinamika hidup, sedangkan hidup adalah perjuangan, tindakan dan
perbuatan, oleh sebab itu maka pengalaman adalah perjuangan pula. Oleh karena
Realitas pada hakikatnya terus berubah, hidup itu pun selalu berubah. Dalam
konteks ini bahwa kesempatan, sesuatu yang tidak terduga-duga, sesuatu yang
baru, dan sesuatu yang tak teramalkan selalu ikut berperan dalam berbagai
peristiwa kehidupan. Hidup penuh tantangan dan masalah yang harus diselesaikan.
Manusia, sebagaimana juga makhluk-makhluk lain, akan tetap hidup dan berkembang
jika ia mampu berjuang mengatasi tantangan dan masalah yang datang silih berganti
dalam proses perubahan yang terus terjadi. Asas ontologi ini jelas didasarkan
atas pengalaman karena itu jelas bersumber dari teori evolusi.
Pengalaman manusia mempunyai empat karakteristik,
yaitu spatial, temporal, dinamis dan pluralistis (Mohammad Noor Syam, 1984).
1)
Pengalaman itu spatial: pengalaman selalu terjadi di
suatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia.
2)
Pengalaman itu temporal: sebagaimana alam, kebudayaan,
pengalaman pun selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu,
3)
Pengalaman itu dinamis: hidup selalu dinamis menuntut
adaptasi dan readaptasi dalam semua variasi perubahan yang terjadi terus-menerus.
Realita itu menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternatif-alternatif.
4)
Pengalaman itu pluralistis: pengalaman itu terjadi seluas
adanya hubungan dan antaraksi dalam mana individu terlibat. Demikian pula
subjek yang mengalami pengalaman itu, menangkapnya dengan seluruh
kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan panca inderanya masing-masing
sehingga pengalaman itu memang bersifat pluralistis.
d.
Pengalaman dan Pikiran
Manusia memiliki fungsi-fungsi jiwa yang dikenal
sebagai pikiran (mind) sehingga ia mempunyai berbagai potensi
intelegensi, seperti kecerdasan, kemampuan mengingat, imajinasi, membuat lambang
atau simbol-simbol, menghubung-hubungkan, merumuskan, memecahkan masalah, membuat
gambaran masa depan. Semua itu memberikan kemungkinan ia dapat berkomunikasi
atau berhubungan dengan orang lain dan lingkungan lain yang lebih luas. Dalam
kegiatan sehari-hari, pikiran memberikan isi dan kemungkinan untuk berbuat.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, pengalaman terjadi
bila berlangsung interaksi antara individu dengan lingkungannya. Pengalaman merupakan
bagian perjuangan untuk hidup karena itu pengalaman menjadi berarti bagi
manusia apabila dapat memberikan sumbangan bagi perjuangan tersebut. Untuk itu
pengalaman harus diolah oleh pikiran. Sebaliknya, pikiran bukanlah sesuatu yang
datang dengan sendirinya, melainkan harus diuji dalam pengalaman.
Pikiran bukan suatu entity tersendiri, demikian
pula pengalaman, melainkan terintegrasi dalam kepribadian. Terdapat kesatuan
antara pikiran dengan pengalaman, adapun satunya pikiran dengan pengalaman
adalah dalam perbuatan praktis. Sebab itu, dalam hal ini manusialah yang
berbuat, yang bekerja, dan yang mengatasi masalah.
- Pandangan Epistemologi
a.
Sumber pengetahuan
Progresivisme mengajarkan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh melalui pengalaman di mana manusia kontak langsung dengan segala
realita dalam lingkungan hidupnya atau juga melalui pengalaman secara tidak
langsung, yaitu melalui catatan-catatan yang diwariskan seperti buku atau
literatur lainnya.
Proses memperoleh “tahu” dalam pengalaman manusia
dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu immediate-experience dan
mediate-experience (M. Noor Syam, 1984). Proses memperoleh “tahu” melalui
immediate-experience, yaitu ketika seseorang memperoleh “tahu” (misal membaca
koran) dalam keadaan relaks, tenang, tanpa beban psiklogis, tanpa permasalahan
atau berada dalam keseimbangan, sedangkan memperoleh “tahu” melalui mediate-experience
yaitu ketika seseorang segera menjembatani antara keadaan kehilangan
keseimbangan karena adanya masalah dengan adanya keseimbangan karena
terpecahkannya masalah. Dalam konteks mediate-experience pemecahan masalah
(berpikir) dilakukan secara deduktif-induktif dan implementasi. Pola berpikir
ini dilakukan melalui lima tahap, yaitu (1) menyadari adanya masalah; (2)
merumuskan jawaban sementara atau hipotesis; (3) mengumpulkan data/pengalarnan
untuk menguji hipotesis; (4) melakukan generalisasi, menarik kesimpulan
induktif dari pengalaman-pengalaman yang khusus; (5) menguji kesimpulan dan
generalisasi dalam praktik yang nyata dalam masyarakat, implementasi (Madjid
Noor, dkk, 1987).
b.
Kriteria “kebenaran”
Suatu pengetahuan dikatakan benar apabila dapat
diverifikasi dan diaplikasikan atau diimplementasikan dalam kehidupan, adapun
kriteria kebenarannya adalah workability (dapat dipraktikkan), (memuaskan)
dan result (memberikan hasil).
c.
Sifat Pengetahuan : Relatif dan berubah
Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman tentang
fenomena karena fenomena realitas hakikatnya adalah berubah maka pengetahuan dan
kebenaran pengetahuan pun akan berubah, dan ini berarti juga bersifat relatif.
Bagaimanapun, pengetahuan dan kebenaran pengetahuan pada hal ini harus juga
dipertimbangkan mungkin berubah esok hari.
- Pandangan Aksiologi
a.
Sumber Nilai : Kondidi Riil Manusia/Pengalaman
Progresivisme menafsirkan hakikat nilai (etika) secara
empiris, yaitu berdasarkan pengalaman atau kondisi riil manusia. Nilai tidak
diturunkan dari sesuatu yang bersifat nonempiris atau yang bersifat
supernatural, seperti wuhyu Tuhan.
b.
Sifat nilai : berada dalam proses, relatf
kondisional, memiliki kualitas sosial dan individual, serta dinamis
Nilai tidak bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri,
melainkan ada dan tidak ada dalam proses, yaitu dalam perbuatan manusia. Oleh
karena perbuatan manusia selalu diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya
untuk survive maka Progresivisme tidak membedakan dan tidak memisahkan antara
nilai intrinsik dengan nilai instrumental.
Seperti dikemukakan di atas, nilai ada dan selalu
berada dalam perbuatan manusia, adapun situasi perbuatan manusia selalu bersifat
partikular karena itu kriteria nilai hakikatnya bersifat relatif tergantung
waktu dan kondisi yang ada, dan tiadalah nila-nilai universal.
Nilai memiliki kualitas sosial Pada dasarnya semua
nilai merupakan produk dari kenyataan sosial. Contohnya, nilai kesehatan
dipahami individu berkat antar hubungan dengan individu-individu lainnya di
dalam masyarakat. Oleh karena adanya keharusan berhubungan dengan orang lain
itu maka nilai-nilai mempunyai kualitas sosial. Sebaliknya, setiap individu
adalah bebas, memiliki potensi intelegensi, rasional, dan kritis maka
individu-individu yang membangun masyarakat sesuai zamannya tidak mewarisi
nilai dari generasi terdahulu. melainkan individu-individu itu bebas memilih satisfaction
nilai yang sesuai dengan kondisinya. Dalam konteks inilah nilai-nilai memiliki
kualitas individual, dan hal ini mengimplikasikan adanya sifat perubahan dan
perkembangan nilai karena itu nilai bersifat dinamis.
c.
Kriteria nilai : berguna adalah baik
Sesuatu dikatakan baik apabila berguna dalam praktik
hidup dan kehidupan, adapun sesuatu dikatakan berguna jika bermakna untuk
kehidupan yang intelligent, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia.
(Callahan and Clark, 1983).
d.
Demokrasi sebagai Nilai
Progresivisme memandang demokrasi sebagai nilai ideal
yang wajib dilaksanakan dalam semua bidang kehidupan Secara axiologis,
demokrasi terutama merupakan nilai instrumental dari nilai intrinsik. Dalam
arti ideal, demokrasi adalah jalan menuju kebahagiaan. Demokrasi adalah nilai individual
sekaligus nilai sosial. Dengan demokrasi tiap individu memiliki hak asasi,
kemerdekaan dan kesempatan untuk mengembangkan kepribadian, self realization.
Sekaligus dengan demokrasi tiap individu mengemban kewajiban untuk menghormati
individu lain, untuk memikul tanggung jawab sosial Nilai pelaksanaan asas
demikian akan dinikmati baik oleh individu maupun oleh masyarakat (negara,
bangsa) bahkan oleh umat manusia (M. Noor Syam, 1984).
- Pandangan tentang Pendidikan
a.
Pendidikan
Menurut Progresivisme pendidikan selalu dalam proses
perkembangan. Kualitas khusus pendidikan bukan ditentukan oleh aplikasi
standar-standar yang menetap mengenai kebaikan, kebenaran dan keindahan,
melainkan memandang pendidikan sebagai suatu rekonstruksi pengalaman yang terus
menerus. Progresivisme menekankan enam prinsip mengenai pendidikan dan atau
belajar, yaitu bahwa (1) pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri, bukan
persiapan untuk kehidupan; (2) belajar harus langsung berhubungan dengan minat
anak; (3) belajar melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian
bahan pelajaran; (4) guru berperan sebagai pemberi nasihat, bukan untuk
mengarahkan; (5) sekolah harus menggerakkan kerja sama daripada kompetisi; dan
(6) demokrasilah satu-satunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi
saling tukar menukar ide bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya
(G. F. Kneller, 1971).
Progresivist memandang education as cultural
transition. Pendidikan dianggap mampu mengubah dalam arti membina
kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan
manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang. Pendidikan adalah
lembaga yang mampu membina manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan
peruhahan-perubahan kultural dan tantangan-tantangan zaman demi survive-nya
manusia (M. Noor Syam)
b.
Tujuan Pendidikan
Bagi penganut Progresivisme pendidikan bertujuan agar
peserta didik individu memiliki kemampuan memecahkan berbagai masalah baru
dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial atau dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang berada dalam proses perubahan. Selain itu, pendidikan
juga bertujuan membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang
demokratis. Sejalan dengan itu Imam Barnadib (1984) menyatakan bahwa tugas utama
dalam lapangan pendidikan adalah meningkatkan kecerdasan agar peserta didik
mampu memecahkan berbagai masalah.
c.
Sekolah
Pendidikan adalah hidup itu sendiri, kehidupan yang riil
adalah proses belajar, manusia (peserta didik) bebas dan aktif dalam berinteraksi,
mengambil bagian, serta memanfaatkan lingkungan alam dan lingkungan sosial-budayanya,
dan bahwa pengalaman hidup manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya
merupakan realita yang meresap membina pribadi. Munusia dan lingkungannya
saling berpengaruh satu sama lainnya dalam proses perubahan dan perkembangan.
Karena itu, gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara
sekolah dan masyarakat tentang oleh Progresivisme. Bagi penganut Progresivisme
“sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil. Sedangkan
pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat perlu dilakukan secara
teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah (Imam Barnadib, 1984).
Sekolah hendaknya merupakan suatu mikrokosmos dan masyarakat yang lebih luas.
Di sini para pelajar dapat mengkaji masalah-masalah dan pandangan-pandangan
yang dihadapi masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Sekolah menjadi
laboratorium belajar hidup, suatu model kerja demokrasi. Dewey sebagai seorang Progresivist
memandang “sekolah sebagai suatu masyarakat demokratis dalam ukuran kecil yang
murid-muridnya dapat belajar dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan
untuk hidup dalam suasana demokrasi” (Madjid Noor, dkk, 1987).
d.
Kurikulum: Child centered, community centered,
experience centered, flexible, interdisipliner
Sebagaimana pengalaman yang bersifat partikular bahwa
kebutuhan kebutuhan, minat-minat individu dan masyarakat berbeda-beda menurut tempat
dan zamannya. Sebab itu kurikulum tidak ada yang universal, melainkan
berbeda-beda sesuai kondisi yang ada; kurikulum hendaknya disesuaikan dengan
sifat-sifat peserta didik (minat, bakat, dan kebutuhaii setiap peserta didik)
atau child centered. Namun demikian, belajar berlangsung dalam kehidupan
manusia yang riil dan wajar maka kurikulum sekolah hendaknya bersumber dari
kehidupan yang riil dan wajar pula, yaitu berasal dari lingkungan (alamiah
maupun sosial-budaya). Kurikulum hendaknya berbasis pada masyarakat, tidak
terpisah dan keadaan-keadaan masyarakat atau community centered. Oleh
karena kurikulum harus berpusat pada peserta didik, tetapi juga kurikulum tidak
boleh terpisah dari keadaan atau kondisi masyarakat pada tempat dan zamannya,
berarti pula bahwa kurikulum itu bersifat fleksibel, tidak beku atau statis,
melainkan mungkin berubah atau dapat direvisi.
Imam Barnadib (1984) menegaskan: “Oleh karena sifat
kurikulum yang. tidak beku dan dapat direvisi ini maka jenis yang memadai
adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman“. Jenis kurikulum ini dilukiskan
Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata
pelajaran dan menekankan pada unit-unit, ini berarti bahwa kurikulum yang,
ideal hendaknya interdisipliner. Selain itu. dijelaskan pula bahwa kurikulum
itu hendaknya yang dihasilkan dan dibentuk dari pertanyaan-pertanyaan dan
pengalaman-pengalaman anak didik sendiri dan diarahkan kepada perkembangan
kepribadian yang penuh dengan jalan untuk memberikan penghayatan-penghayatan
emosional, motonik, intelektual, dan sosial yang seluas dan sekaya mungkin.
Dengan demikian, berbagai mata pelajaran bukanlah tujuan, melainkan hanyalah
alat untuk memecahkan berbagai masalah, dan buku-buku dipandang sebagai alat
dalam rangka proses belajar, sebagai sumber pengetahuan yang abadi.
e.
Metode
Metode pendidikan yang diutamakan Progresivisme adalah
metode pemecahan masalah problem solving method serta metode
penyelidikan penemuan (inquiry and discovery method). Sehubungan dengan
metode ini, dalam pelaksanaannya dihutuhkan guru yang memiliki karakteristik sebagai
berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendy (bersahabat), a
guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), creative
(kreatif) social a ware (sadar bermasyarakat), enthusiastic
(antusias), cooperative and sincere (bekerja sama dan sungguh-sungguh)
(Callahan and Clark, 1983)
f.
Peranan guru dan peserta didik
Oleh karena peserta didik dipandang sebagai organisme
(subjek) yang kemampuan untuk berpikir, mampu menjelajahi kebutuhan, dan
minatnya sendiri maka guru seharusnya berperanan sebagai: penyedia berbagai
pengalaman yang akan memunculkan motivasi belajar; (a guide) bagi
munid-murid dalam merumuskan masalah, kegiatan penyelesaian masalah dan
proyek-proyek mereka; merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam
kelas untuk digunakan dalam memcahkan masalah; membantu para siswa dalam
mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah; dan bersama-sama anggota kelas
mengevaluasi mengenai apa yang telah dipelajari; bagaimana mempelajarinya;
informasi baru apa yang setiap siswa peroleh; apa yang siswa temukan oleh
dirinya (Callahan and Clark, 1983). Edward J. (1982) menyimpulkan bahwa guru
berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur
terlalu jauh atas minat kebutuhan peserta didik. Sedangkan peserta didik
berperanan sebagai organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa
untuk tumbuh
KESIMPULAN
Pihak
tertentu memandang Progresivisme sebagai suatu aliran filsafat pendidikan,
tetapi ada pula yang memandangnya sebagai suatu gerakan pendidikan. Namun
demikian, yang jelas bahwa Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang
dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi konsep-konsep filsafat
tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa Amerika pada permulaan
abad kedua puluh. Perkumpulan Pendidikan Progresivisme (The Progressive
Education Association) didirikan pada tahun 1918, selama dua puluh tahun
atau lebih Progresivisme merupakan “jiwa” yang merasuki pendidikan bangsa
Amerika.
Aliran filsafat progresivisme ide-idenya ialah
berpangkal pada perubahan social. Dan perubahan yang lebih di utamakan ialah
perkembangan individual yang mencakup berupa cita-cita, seperti cooperation,
sharing, dan adjustment, yaitu kerja sama dalam semua aspek kehidupan, turut
ambil bagian (memberikan andil) dalam
semua kegiatan, dan memiliki daya
fleksibelitas untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Menurut
Progresivisme pendidikan selalu dalam proses perkembangan. Kualitas khusus
pendidikan bukan ditentukan oleh aplikasi standar-standar yang menetap mengenai
kebaikan, kebenaran dan keindahan, melainkan memandang pendidikan sebagai suatu
rekonstruksi pengalaman yang terus menerus.
terimakasih ilmunya.
BalasHapussalam,
https://marketing.ruangguru.com/uji